Setiap orang memiliki rasa, tempatnya di hati. Orang yang berhasil memelihara perasaannya disebut cerdas dan beruntung. Dengan perasaannya itu, seseorang bisa memahami orang lain. Ia mengerti apa yang dilakukan menyenangkan atau membuat orang lain justru susah, sedih, atau sakit hati, Orang yang mati rasa sama artinya dengan tidak sadar dan bahkan sebenarnya telah hilang eksistensi kemanusiaannya.
Dalam pergaulan sehari-hari, sering terdengar ucapan bahwa seseorang disebut tidak punya perasaan. Orang yang dikatakan demikian itu oleh karena yang bersangkutan berbuat seenaknya. Apa yang dilakukan tidak mempertimbangkan akibatnya, yaitu misalnya merugikan orang lain, menyakitkan, atau membahayakan, tidak terkecuali terhadap dirinya sendiri.
Perasaan sebenarnya adalah merupakan pembawaan. Sejak lahir setiap orang telah dibekali dengan perasaan itu. Rasa sudah ada di dalam hati, dan tidak perlu ditunggu atau dicari dari tempat lain. Hanya saja, rasa itu perlu dipelihara. Jika dibiarkan, maka akan terpengaruh oleh lingkungannya, dan lama kelamaan bisa berakibat mati.
Orang yang tidak punya perasaan dianggap bodoh, karena apa yang dilakukan tidak jelas arahnya, mengganggu lingkungan dan bahkan juga menjengkelkan. Di tengah malam misalnya, ketika orang lain sedang istirahat atau tidur, seseorang melakukan kegiatan yang tidak mempedulikan orang lain. Oleh karena tidak menghiraukan perasaan orang lain itulah disebut bodoh itu.
Menghidupkan perasaan tidak perlu melalui sekolah atau lembaga pendidikan. Selain itu, orang yang miskin perasaan bisa saja berasal dari orang terdidik atau bahkan berpendidikan tinggi, pejabat, politikus, dan orang kaya. Sebaliknya, orang yang berpendidikan rendah, miskin, terbelakang dan sejenisnya ternyata justru memiliki perasaan yang tajam.
Rasa adalah merupakan pembawaan sejak lahir, bukan diperoleh melalui pendidikan. Sebagai contoh, orang di pedesaan biasanya lebih perasa dibanding orang kota. Orang desa yang masih asli sangat peduli pada keluarga, tetangga dan lingkungannya. Sebaliknya, orang kaya atau pejabat tinggi bisa tidur nyenyak sekalipun tetangganya sedang kelaparan dan bahkan tidur di emperan rumahnya.
Orang yang hidup di kota, atau bahkan sekalipun berpendidikan tinggi, rasa yang dimilikinya semakin hilang, kecuali bagi orang-orang yang sanggup memeliharanya. Oleh karena itu, rasa tidak ada kaitannya dengan sekolah atau lembaga pendidikan. Bisa saja lembaga pendidikan justru menjadikan sebab mematikan rasa. Otaknya dilatih hingga menjadi cerdas, tetapi perasaannya semakin tumpul.
Di dalam al Qur’an disebutkan bahwa beruntunglah bagi orang yang mau mensucikan dirinya, mengingat Allah, dan shalat. Oleh karena itu, rasa itu bisa dihidupkan. Rasa pada awalnya adalah baik dan bersih. Namun oleh karena melewati proses dalam kehidupan itulah, maka peranti dimaksud menjadi kotor, sakit, dan bahkan mati.
Islam membimbing agar rasa atau nikmat yang diberikan oleh Allah dalam keadaan terbaik itu tidak menjadi rusak. Maka, harus dipelihara hingga sampai ajalnya datang. Dengan demikian, berawal suci dan mengakhirnya juga dalam keadaan suci pula. Orang yang demikian itu di dalam al Qur’an disebut sebagai beruntung, yakni mampu memelihara rasa yang ada pada dirinya. Wallahu a’lam.
Dalam pergaulan sehari-hari, sering terdengar ucapan bahwa seseorang disebut tidak punya perasaan. Orang yang dikatakan demikian itu oleh karena yang bersangkutan berbuat seenaknya. Apa yang dilakukan tidak mempertimbangkan akibatnya, yaitu misalnya merugikan orang lain, menyakitkan, atau membahayakan, tidak terkecuali terhadap dirinya sendiri.
Perasaan sebenarnya adalah merupakan pembawaan. Sejak lahir setiap orang telah dibekali dengan perasaan itu. Rasa sudah ada di dalam hati, dan tidak perlu ditunggu atau dicari dari tempat lain. Hanya saja, rasa itu perlu dipelihara. Jika dibiarkan, maka akan terpengaruh oleh lingkungannya, dan lama kelamaan bisa berakibat mati.
Orang yang tidak punya perasaan dianggap bodoh, karena apa yang dilakukan tidak jelas arahnya, mengganggu lingkungan dan bahkan juga menjengkelkan. Di tengah malam misalnya, ketika orang lain sedang istirahat atau tidur, seseorang melakukan kegiatan yang tidak mempedulikan orang lain. Oleh karena tidak menghiraukan perasaan orang lain itulah disebut bodoh itu.
Menghidupkan perasaan tidak perlu melalui sekolah atau lembaga pendidikan. Selain itu, orang yang miskin perasaan bisa saja berasal dari orang terdidik atau bahkan berpendidikan tinggi, pejabat, politikus, dan orang kaya. Sebaliknya, orang yang berpendidikan rendah, miskin, terbelakang dan sejenisnya ternyata justru memiliki perasaan yang tajam.
Rasa adalah merupakan pembawaan sejak lahir, bukan diperoleh melalui pendidikan. Sebagai contoh, orang di pedesaan biasanya lebih perasa dibanding orang kota. Orang desa yang masih asli sangat peduli pada keluarga, tetangga dan lingkungannya. Sebaliknya, orang kaya atau pejabat tinggi bisa tidur nyenyak sekalipun tetangganya sedang kelaparan dan bahkan tidur di emperan rumahnya.
Orang yang hidup di kota, atau bahkan sekalipun berpendidikan tinggi, rasa yang dimilikinya semakin hilang, kecuali bagi orang-orang yang sanggup memeliharanya. Oleh karena itu, rasa tidak ada kaitannya dengan sekolah atau lembaga pendidikan. Bisa saja lembaga pendidikan justru menjadikan sebab mematikan rasa. Otaknya dilatih hingga menjadi cerdas, tetapi perasaannya semakin tumpul.
Di dalam al Qur’an disebutkan bahwa beruntunglah bagi orang yang mau mensucikan dirinya, mengingat Allah, dan shalat. Oleh karena itu, rasa itu bisa dihidupkan. Rasa pada awalnya adalah baik dan bersih. Namun oleh karena melewati proses dalam kehidupan itulah, maka peranti dimaksud menjadi kotor, sakit, dan bahkan mati.
Islam membimbing agar rasa atau nikmat yang diberikan oleh Allah dalam keadaan terbaik itu tidak menjadi rusak. Maka, harus dipelihara hingga sampai ajalnya datang. Dengan demikian, berawal suci dan mengakhirnya juga dalam keadaan suci pula. Orang yang demikian itu di dalam al Qur’an disebut sebagai beruntung, yakni mampu memelihara rasa yang ada pada dirinya. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar