Mungkin saja banyak orang menganggap bahwa musuh itu selalu berada di luar dirinya. Dalam kehidupan beragama musuh itu dianggapnya adalah orang-orang yang tidak beragama, atau tidak seagama, berbeda aliran, berlainan madzhab yang dianut, dan semacamnya. Atas anggapan itu maka seseorang selalu menjauh dari orang-orang yang dimaksudkan itu.
Berbekalkan cara pandang tersebut, seorang muslim menganggap bahwa pemeluk Nasrani, Hindu, Budha, Kong Hucu, atau orang yang tidak jelas agamanya diksebut sebagai musuhnya. Demikian pula sebaliknya, orang Hindu, Budha, Kristen, dan sebagainya, menganggap bahwa setiap muslim tidak saja sebagai kompetitornya melainkan juga menjadi pihak yang mengancam keselamatan dirinya.
Pandangan yang demikian tersebut menjadikan orang yang berbeda agama dianggap sebagai musuh dan membahayakan. Antar pemeluk agama menjadi berjarak. Di antara pemeluk agama yang berbeda menjadi tidak saling berkomunikasi, tidak saling mengenal, dan apalagi saling tolong menolong. Masing-masing orang dipisahkan oleh agama yang dipeluknya.
Agama yang seharusnya menjadikan para pemeluknya memiliki budi pekerti, watak, karakter, atau akhlak mulia ternyata justru berbalik. Orang beragama seolah-olah boleh bermusuhan dan atau bahkan harus menempatkan diri sebagai musuh terhadap orang lain yang berbeda. Bahkan, pemeluk agama yang sama, tetapi beraliran atau bermadzhab berbeda menjadi tidak saling berkomunikasi dan juga boleh bermusuhan.
Anggapan bahwa orang lain atau pemeluk agama yang berbeda dari dirinya adalah musuh dikiranya benar. Sebagai musuh, maka akan selalu berpotensi untuk mengalahkan dan bahkan menghancurkan. Pandangan yang demikian itu, seolah-olah dianggap benar sepenuhnya. Apa yang dianggap musuh, seolah-olah adalah pihak-pihak yang selalu berada di luar dirinya.
Padahal jika direnungkan secara mendalam dan berdasarkan kenyataan, anggapan yang dimaksudkan itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan, sesuatu yang dianggap membahayakan kehidupannya ternyata bukan selalu berasal dari luar atau dari orang lain. Musuh itu tidak selalu datang dari tempat yang jauh, atau orang lain yang berbeda agama, madzhab, aliran dan sejenisnya yang berbeda, tetapi bisa saja justru datang dari dalam dirinya sendiri.
Tatkala seseorang mengikuti bisikan setan atau diperdaya oleh iblis atau jin, maka yang bersangkutan akan menjadi musuh atas dirinya sendiri. Sebutan diri sendiri bisa diartikan sebagai hati nuraninya yang selalu mengajak pada kebaikan, perbuatan terpuji, beramal shaleh, dan mulia. Tatkala seseorang mengikuti hawa nafsu atau bisikan setan hingga pada dirinya muncul sifat dengki, iri hati, hasut, sombong, kikir, permusuhan, dan lain-lain, maka pada diri yang bersangkutan sendiri sebenarnya sedang terdapat musuh yang amat berbahaya.
Musuh berupa iri hati, dengki, hasut, takabur, dan lain-lain dimaksud biasanya tidak disadari atau dirasakan sebagai sesuatu yang membahayakan terhadap dirinya. Bahkan seolah-olah, sifat dimaksud menolong atau berpihak pada dirinya sendiri. Seseorang yang pada dirinya berkecamuk sifat sombong, takabur, permusuhan, berbohong, khianat, mengingkari janji atau sumpah, dan seterusnya, akan mengundang musuh yang tidak terpekirakan datangnya dan juga jumlahnya.
Selain itu, orang yang sedang memiliki sifat-sifat tercela tersebut tidak saja akan membahayakan hidupnya di dunia tetapi juga di akherat kelak. Hasut akan menghapus pahala amal kebaikan bagaikan api memakan kayu bakar. Orang yang takabur dan sombong akan dibenci oleh Tuhan, dan sterusnya. Maka sebenarnya, musuh itu bukan selalu datang dari tempat yang jauh, tetapi bisa saja datang dari dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Berbekalkan cara pandang tersebut, seorang muslim menganggap bahwa pemeluk Nasrani, Hindu, Budha, Kong Hucu, atau orang yang tidak jelas agamanya diksebut sebagai musuhnya. Demikian pula sebaliknya, orang Hindu, Budha, Kristen, dan sebagainya, menganggap bahwa setiap muslim tidak saja sebagai kompetitornya melainkan juga menjadi pihak yang mengancam keselamatan dirinya.
Pandangan yang demikian tersebut menjadikan orang yang berbeda agama dianggap sebagai musuh dan membahayakan. Antar pemeluk agama menjadi berjarak. Di antara pemeluk agama yang berbeda menjadi tidak saling berkomunikasi, tidak saling mengenal, dan apalagi saling tolong menolong. Masing-masing orang dipisahkan oleh agama yang dipeluknya.
Agama yang seharusnya menjadikan para pemeluknya memiliki budi pekerti, watak, karakter, atau akhlak mulia ternyata justru berbalik. Orang beragama seolah-olah boleh bermusuhan dan atau bahkan harus menempatkan diri sebagai musuh terhadap orang lain yang berbeda. Bahkan, pemeluk agama yang sama, tetapi beraliran atau bermadzhab berbeda menjadi tidak saling berkomunikasi dan juga boleh bermusuhan.
Anggapan bahwa orang lain atau pemeluk agama yang berbeda dari dirinya adalah musuh dikiranya benar. Sebagai musuh, maka akan selalu berpotensi untuk mengalahkan dan bahkan menghancurkan. Pandangan yang demikian itu, seolah-olah dianggap benar sepenuhnya. Apa yang dianggap musuh, seolah-olah adalah pihak-pihak yang selalu berada di luar dirinya.
Padahal jika direnungkan secara mendalam dan berdasarkan kenyataan, anggapan yang dimaksudkan itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan, sesuatu yang dianggap membahayakan kehidupannya ternyata bukan selalu berasal dari luar atau dari orang lain. Musuh itu tidak selalu datang dari tempat yang jauh, atau orang lain yang berbeda agama, madzhab, aliran dan sejenisnya yang berbeda, tetapi bisa saja justru datang dari dalam dirinya sendiri.
Tatkala seseorang mengikuti bisikan setan atau diperdaya oleh iblis atau jin, maka yang bersangkutan akan menjadi musuh atas dirinya sendiri. Sebutan diri sendiri bisa diartikan sebagai hati nuraninya yang selalu mengajak pada kebaikan, perbuatan terpuji, beramal shaleh, dan mulia. Tatkala seseorang mengikuti hawa nafsu atau bisikan setan hingga pada dirinya muncul sifat dengki, iri hati, hasut, sombong, kikir, permusuhan, dan lain-lain, maka pada diri yang bersangkutan sendiri sebenarnya sedang terdapat musuh yang amat berbahaya.
Musuh berupa iri hati, dengki, hasut, takabur, dan lain-lain dimaksud biasanya tidak disadari atau dirasakan sebagai sesuatu yang membahayakan terhadap dirinya. Bahkan seolah-olah, sifat dimaksud menolong atau berpihak pada dirinya sendiri. Seseorang yang pada dirinya berkecamuk sifat sombong, takabur, permusuhan, berbohong, khianat, mengingkari janji atau sumpah, dan seterusnya, akan mengundang musuh yang tidak terpekirakan datangnya dan juga jumlahnya.
Selain itu, orang yang sedang memiliki sifat-sifat tercela tersebut tidak saja akan membahayakan hidupnya di dunia tetapi juga di akherat kelak. Hasut akan menghapus pahala amal kebaikan bagaikan api memakan kayu bakar. Orang yang takabur dan sombong akan dibenci oleh Tuhan, dan sterusnya. Maka sebenarnya, musuh itu bukan selalu datang dari tempat yang jauh, tetapi bisa saja datang dari dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar