Mungkin saja orang bertanya-tanya, mengaPa para pemimpin bangsa ini selalu berisik. Mereka tidak sibuk mengurus rakyat yang dipimpinnya, melainkan justru saling bertikai, berebut, saling menjatuhkan, mencari menang dan keunggulan sendiri-sendiri. Menjatuhkan orang lain dianggap sukses, sehingga pekerjaan itulah yang dilakukan.
Jika dicermati apa yang diperebutkan itu juga sederhana, ialah menyangkut kedudukan, jabatan, dan bahkan hanya sekedar uang atau harta kekayaan. Rupanya mereka menganggap uang adalah segala-galanya. Harta dinilai lebih tinggi dibanding harga diri seseorang. Berangkat dari pandangan itu, maka menyelamatkan harta dianggap benar sekalipun harus mengorbankan harkat dan martabat orang.
Oleh karena terlalu mengutamakan harta kekayaan itu, umpama terjadi kebakaran, maka yang lebih utama diselamatkan adalah dompet, surat berharga, perhiasan, kambing, kerbau, dan selainnya dibanding penghuni rumah yang terbakar itu. Kehilangan dompet lebih dihindari dibanding kehilangan orang dan atau martabatnya. Orang dianggap lebih murah harganya dibanding harta kekayaan. Padahal, orang seharusnya lebih diutamakan melebihi segala-galanya.
Namun demikian, bukan berarti bahwa harta kekayaan itu tidak penting. Kekayaan tetap penting, tetapi masing-masing harus didudukkan pada proporsinya. Harta kekayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan orang, dan bukan sebaliknya, keberadaan orang untuk mendapatkan kekayaan. Tuhan memuliakan manusia. Disebutkan di dalam kitab suci, “laqod karromna baani aadam".
Sejak beberapa tahun terakhir, para pemimpin bangsa ini tampak sibuk bertikai hanya urusan harta kekayaan. Untuk memperebutkan harta itu, mengorbankan orang dan bahkan seorang pemimpin dianggap benar. Seorang pemimpin dianggap sebagai sesuatu yang mudah dicari. Tidak disadari, bahwa melahirkan pemimpin bukan perkara mudah. Menghujat, menghukum, menistakan mantan pemimpin dianggap hal biasa. Sedemikian murah martabat pemimpin sehingga mereka tidak dilihat secara adil. Kesalahan kecil dibesar-besarnya, sementara itu jasanya yang besar tidak diingat lagi.
Para pejabat berebut pembagian anggaran, bertikai menyangkut penyimpangan keuangan negara, perbankan, pertambangan, dan pada akhir-akhir ini soal Freeport. Rakyat sehari-hari disuguhi tontonan berupa pertikaian yang tidak pernah berakhir. Belum lagi sesuatu yang tidak kalah memprihatinkan adalah berita tentang sogok menyogok untuk memenangkan perebutan jabatan di dalam Pilkada. Aneh sekali, menjadi pemimpin ditempuh dengan cara memanipulasi dan menyogok dianggap hal wajar dan tidak malu.
Gambaran yang menyedihkan tersebut, salah satu sumbernya adalah adanya krisis pemahaman terhadap kehidupan ini. Orang tidak mengerti lagi, siapa sebenarnya dirinya, dari mana mereka diciptakan, siapa penciptanya, untuk apa diciptakan, dan akan ke mana kehidupan ini selanjutnya. Dengan tidak mengerti tentang eksistensi dirinya itu, maka mereka akan melakukan sesuatu tanpa arah, tidak tahu diri, sombong, berusaha menumpuk harta, berebut pengaruh, kekuasaan, dan sejenisnya.
Selain itu juga menjadikan banyak orang tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa harta kekayaan yang menumpuk itu sebenarnya tidak akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri. Mereka juga tidak tahu bahwa jabatan yang dicari dan diperoleh itu hanya akan mengantarkan dirinya menuju pada kesengsaraan, kehinaan, dan atau penjara. Krisis pemahaman terhadap diri sendiri itu, dan apalagi dialami oleh para pemimpin, maka kehidupan masyarakat terasa menjadi selalu berisik, penuh konflik, dendam, saling tuduh menuduh, dan saling tidak percaya. Krisis pemahaman terhadap diri sendiri ternyata juga melahirkan berbagai bentuk dan jenis krisis lainnya. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar