Minggu lalu ayah rekan kerja saya meninggal. allahummaghfirlahu
warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Saya bersama rekan-rekan yang lain (waktu itu
kami rombongan beberapa mobil) layat ke rumahnya, di Jalan Parangtritis Jogja.
Sampai di kediaman, kita disambut keluarga dan seperti biasa, diberi bingkisan
snack.
Selanjutnya kami ngobrol dengan rekan yang sedang berduka dan
memberikan dukungan moril kepada beliau yang saat itu terlihat melamun terus,
beberapa saat kita ngobrol sampai dia sudah lumayan luwes berekspresi.
Alhamdulillah.
Singkat cerita, saat kami pulang, saya berada di barisan paling
depan, pulang membawa snack yang tadi dibagikan. Waktu saya menoleh, ternyata
rekan-rekan yang lain meninggalkan snacknya. Haha. Dengan lebay saya kaget.
"Loh Mbak, kok ditaruh?". Haha, begitu polosnya
saya waktu itu yang benar-benar tidak pernah tahu. "Sudah dik, bawa
aja, kami gak bawa karena kami biasa nggak makan".
Karena saya di barisan paling depan dan kebingungan mau balikin
juga terlanjur sungkan. Beberapa dari rekan saya berbisik dari baris paling
belakang. "Udah gak papa, dibawa aja dik, sini-sini tak temenin. Punyaku
tak bawa aja juga wes biar kamu ada temennya".
Selanjutnya saya ngobrol-ngobrol, ternyata rekan saya hampir
semua orang Muhamadiyah, dan saya sendiri yang kurang pengetahuan soal
kepercayaan tadi. Yang saya kagumi, begitu indahnya toleransi di Jogja, yang
pada akhirnya beberapa teman sayapun memaklumi dan bahkan menemani saya membawa
snack dari layatan. Hehe.
Salah satu contoh sikap yang harus dipertahankan dan diperluas
demi kemaslahatan Islam, dan Bernegara. Itulah kenapa, saya sangat cinta
toleransi. Bahkan, ketika dekat dengan orang dan dia menanyakan soal "Kamu
NU apa Muhamadiyah". Entah kenapa kok auto illfeel wkkw. Sekian curhatan
sekaligus catatan kali ini. Semoga bermanfaat.
Trenggalek,
21 Juli 2020
T.
Agustina
Komentar
Posting Komentar